Setiap keberadaan suatu
bangsa atau daerah tidak pernah lepas dari sejarah. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak pernah meninggalkan begitu saja sejarah bangsa tersebut.
Sejarah Kendal sendiri dalam
buku "Babad Tanah Kendal" karya Ahmad Hamam Rochani, menyebutkan
banyak sekali yang melatar belakangi nama Kendal. Ada yang menyebut dengan
Kendalapuraatau Kontali atau Kentali. Namun Babad Tanah Jawi menyebutnya bahwa
Kendal berasal dari nama sebuah pohon, yaitu Pohon Kendal. Begitu pula tentang
Kendal sebagai sebuah negeri, memang tenggelam oleh kerajaan atau negeri-negeri
besar. Namun pada akhirnya negeri Kendal menjadi catatan sejarah nasional dan
bahkan internasional karena catatan sejarahnya disimpan di sebuah perguruan
tinggi terkenal di Nederland yaitu Universitas Leiden Belanda. Menurut Penulis,
dipakai kata babad karena kupasannya dari cerita yang mengandung sejarah. Kalau
diartikan secara umumBabad Tanah Kendal artinya cerita sejarah tentang tanah
Kendal. Oleh karena itu, penekanan dalam hal ini adalah cerita, bukan sejarah
yang harus dibuktikan dengan fakta. Sehingga mungkin akan dijumpai hal-hal yang
kadang lain di telinga atau bertentangan dengan pemahaman yang sudah melekat
erat di pikiran masyarakat
KENDAL PADA MASA AKHIR
KERAJAAN MAJAPAHIT
Suatu hari, Sang Prabu
Brawijaya bersemedi memohon pada yang Mahakuasa. Hasil semedinya cocok dengan
pelaporan para ahli nujum kerajaan. Majapahit yang agung dan termasyhur akan
segera beralih tempat. Namun pemegang kekuasaan tetap berada di tangan
keturunan sang prabu. Rajanya akan ditaati seluruh rakyat Jawa Dwipa bahkna
nusantara. Sang prabu lalu jatuh sakit. Mendapat wisik, penyakit akan sembuh
bila Sang Prabu mau mengawini seorang puteri berambut keriting dan kulit
kehitam-hitaman, Puteri Wandan Tetapi setelah Puteri Wandan mengandung, Sang
Prabu terusik lagi oleh pelaporan para nujum kerajaan, bahwa sang bayi kelak
akan membawa bencana. Ya, inilah awal kehancuran Majapahit. Tak pelak sang bayi
diserahkan kepada seorang petani, dan jauh dari pusat kerajaan. Bayi itu adalah
Bondan Kejawan, yang kemudian menurunkan Ki Getas Pendowo - Ki Ageng Selo - Ki
Ageng Henis - Sunan Laweyan. Dari lelaki desa yang lugu tapi penuh sasmita itu,
lahir sang Pemanahan, dan berdirilah Mataram.
Sunan Katong dan Pakuwojo:
asal-usul nama Kendal
Bathara Katong atau Sunan
Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan
Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Beberapa tokoh dalam
rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk
Penjalin),Han Bie Yan (Kyai Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).
Penyebaran Islam di sekitar
Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke
barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan
petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu,
bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.
Dikatakan dalam cerita tutur,
ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang
adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk
meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam,
Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya
sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia
merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian,
sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau
Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan
dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih
tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk
agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di
hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi
budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.
Dengan didampingi dua
sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru.
Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata
oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama
dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan
bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh
Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak
mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan
Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.
Sebagaimana janjinya,
kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh
Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama
Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan
pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat
pertarungan kedua tokoh itu diberi namaKali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang
membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula
oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan
nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi
Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan
kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau
GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik.
Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya denganKendalsari.
Masih ada keterangan lain
yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal
dari kataKendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan
agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal.
Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah
menyebu-nyebut nama Kendalapura. Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa
Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut
oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah
Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh
lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan. Temuan-temuan itu patut
dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan
masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa
nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan itu karena
dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang
mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung
lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi
terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa. Akan halnya cerita Sunan
Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan
sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih
menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara
Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh). Cerita yang
sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil
dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat
syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup
rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.
Sang nujum itu benar-benar
titis pikir. Puteri Bondan Kejawan beriringan kasih sayang dengan KiAgeng
Ngerang. Tuturnya dari sini lahir sang Bahu, sorang cicit yang berdampingan
dengan Pangeran Benowo sang Mahkota Pajang. Ikatannya ditali dengan batin
seperguruan sang leluhur. Setia tak gampang merekah. Tanah Kukulan mengantar
sang Bahurekso berdekat diri dengan orang agung dari Mataram, dimulai dari
anugerah nama, Kyai Ngabehi Bahurekso, dan selanjutnya Raden Tumenggung
Bahurekso, sang Adipati Kendal. Alas Roban dan Alas Gambiran, Batang dan
Pekalongan karya utama sang Bahu, yang berdampingan dengan pengejawantahan
Nawangsari sebidadarian dengan Nawangwulan. Sang kekasih Bahurekso terpatri di
hati dengan sebutan Dewi Lanjar. Magangan, Plantaran, Kali Aji, Sabetan dan
Ngeboom merupakan saksi bisu dan monumen yang terlupakan dari sejarah sebuah
kabupaten di Kaliwungu. Pusat budaya. Kota kecil itu menjadi kota besar, dan
dari Klaiwungu berhasil menembus Batavia pada Kaladuta. Nama Kendal tidak lagi
menasional tetapi telah melangit di tingkat internasional. Sang Bahurekso,
adipati, gubernur pesisir Jawa dan dan panglima perang.
Siapa Kyai Kendil Wesi? :
adakah hubungannya dengan Bagus Menot
Siapakah Kyai Kendil Wesi
itu?
Menurut catatan Amien
Budiman, Kyai Kendil Wesi itu nama aslinya adalah TUmenggung Singowijoyo.
Bupati Kendal ini tewas di gunung Tidar Magelang ketika terjadi geger
Pakunegaran. Kemudian ia digantikan oleh kemenakannya dengan gelar Tumenggung
Mertowijoyo. Dan setelah meninggal digantikan oleh adiknya dengan nama
kehormatan yang sama yaitu Tumenggung Mertowijoyo, yang meninggal di Loji
Semarang. Tumenggung ini mempunyai putera yang bernama Mertowijoyo yang
kemudian lebih dikenal dengan Mertowijoyo I.
Sedangkan catatan yang
beredar di Kendal menerangkan bahwa yang dimaksud Kyai Kendil Wesi adalah
bupati Kendal yang memiliki nama Mertowijoyo II, adik dari Tumenggung
Singowijoyo yang memerintah pada tahun 1700 - 1725. Meninggal dan dimakamkan di
pemakaman Pekuncen Kendal. Sedangkan pusakanya yang bernama Kendil Wesi
diwariskan pada puteranya yang namanya juga nunggak semi dengannya yaitu
Mertowijoyo III. Setelah meningal dunia, jenazah dan pusaka Kendil Wesinya
dimakamkan di bawah pohon Doropayung Desa Sukolilan Patebon Kendal.
Nama Mertowijoyo jgua
ditemukan dalam buku Serat Babad Negari Semarang dan Babad Mentawis. Dalam
Serat Babad Nengari Semarang diterangkan bahwa nama Mertowijoyo itu masih ada
hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran I (Ki Mode Pandan), penguasa Semarang atau
Tirang Amper, yang berarti ada hubungan garis keturunan dengan Raden Fatah,
Sultan Demak. Lengkap silsilahnya disebut sebagai berikut; Raden Fatah (Demak)
berputera Pangeran Sabrang Lor, berputera Pangerawn Pandan Aran I (Ki Mode
Pandan), berputera Pangeran Kanoman bupati Semarang (adik Sunan Tembayat),
berputera Kyai Khalifah, berputera Kyai Laweyan, berputera Kyai Sumendhi (Kyai
Alap-alap, bupati Semarang), berputera Kyai Rangga Hadi Negoro
(Surahadimenggala ke-2, bupati Semarang), berputera Kyai Ronggo Mertoyuda
(Surahadimenggala ke-3, bupati Semarang), berputera Kyai Mertowijyoyo.
Namun menurut cerita yang
dicatat dala buku peninggalan-peningglan kunodi Kendal disebutkan bahwa
Mertowijoyo berasal dari Lumajang. Karena ada selisih keluarga dengan adiknya,
ia mengalah dan membawa pengikutnya berlayar dan akhirnya terdampar di Kendal.
bersama pengikutnya ia
membuka suatu daerah sebagai tempat tinggal, dan karena ia mempunyai sebauh
pusaka yang berwujud kendil terbuat dari bes, maka ia terkenal dengan nama Kyai
Kendil Wesi. Ia meninggal ketika geger pakunegaran di gunung Tidar Magelang,
dan jenazahnya dimakamkan di Pekuncen Kendal. Sedangkan jabatan bupati jatuh ke
tangan Mertowijoyo III, putera Mertowijoyo I berikut pusakanya.
Kemudian siapa yang dimaksud
dengan Bagus Menot?
Diceritakan bahwa ia putera
Tumenggung Mertowijoyo. Namun tidak jelas Mertowijoyo yang mana. Namun kalau
dilihat dari cerita yang beredar di Kendal bahwa ia adalah putera adipati
tetapi akhir hayatnya mukso tanpa nama. Bisa jadi ia adalah putera Adipati
Mertowijoyo I. Sebab, ketika Mertowijoyo I meninggal dunia, jabatan bupati
diwakili oleh patihnyasendiri (lihat dan perhatikan dalam nama-nama Bupati
Kendal di bagian akhir).
Seperti diceritakan oleh juru
kunci makam Bagus Menot, Pak Puji (50), serta para orang tua yang suka dengan
cerita tempo dulu, bahwa Bagus Menot adalah putera seorang adipati. Ketika
ayahnya kembali dari berperang (geger Pakunegaran) ia dalam keadaan terluka
parah karena terkena sabetan senjata. Sedangkan isterinya dalam keadaan hamil.
Sebelum Mertowijoyo meninggal dunia, ia berpesan kepada semua kerabat bahwa
kelak yang menggantikan dirinya menjadi bupati Kendal adalah putera yang masih
dalam kandungan. Bila ia nanti lahir laki-laki, harap diberi nama Jaka Aminoto.
Dan apaibila menduduki kursi bupati namanya Adipati Aminoto. Begitu pesan
ayahandanya, Mertowijoyo. Ada tuturan lagi, selain bernama Aminoto jga punya
nama lain yaitu Raden Sutejo.
Kelahiran bayi Aminoto
bersamaan dengan kematian sang ibu. Maka bayi Aminoto dirawat oleh keluarga.
Ketika mencapai usia dewasa, kira-kira 17 tahun, malapetaka menimp dirinya.
Orang yagn menduduki jabatan bupati warisan dari ayahnya merasa resah karena
pewaris yang asli sudah tumbuh dewasa. Maka tidak ada jalan yang terbaik kecuali
harus menyingkirkan sang pewaris dengan cara apapun.
Usaha Pembunuhan pun beberapa
kali dilakukan. Bahkan menurut cerita itu, Jaka Menot pernah dilarung ke laut,
namun masih bisa selamat. Dan ketika ada usaha untuk meracuni melalui pelayan
kerabat, Jaka Menot jga selamat. Maka tidak ada jalan lain kecual harus
dibunuh, tetapi ada yang menyarankan cara itu memang kurang baik. Maka cara
yang terbaik Jaka Menot diusir dari kadipaten. Setelah meninggalkan kadipaten,
maka diatur supaya ada punggawa mengejarnya dengan maksud untuk membunuh Jaka
Menot. Ada tuturan lagi, bahwa baik orang-orang kabupaten ataupun Belanda,
merasa takut dengan kemampuan spiritual Bagus Aminoto. Diterangkan, kemampuan
seorang remaja yang baru berusia belasan tahun sudah diketahui biasa
bermain-main batu dan rumput. Konon batu-batu itu dibuat semacam tasbih dengan
cara ditusuk dengan rumput dan ternyata bisa tembus.
Jaka Menot lari ke arah barat
dan ternyata banyak juga orang merasa iba, karena para punggawa kakdipaten
tersu mengejarnya untuk membunuh. Kenmudian ia ditolong oleh seorang tua. Namun
pengejaran tersu dilakukan, dan orang tua yang diketahui menolong Jaka Menot,
dibunuh. Kepalanya terpisah dari badannya, dan kakinya juga dipotong. Hanya
tinggal badan (gembung). Di kemudian hari nama tempat membunuh orang tua itu
terkenal dengan namaBugangin. Jaka Menot terus berlari mencari selamat. Karena
merasa capek, ia beristirahat di sebuah pohon pinang (jambe). Ia terus dikejar
oleh punggawa kadipaten. Setelah melihat para punggawa terus mengejar, Jaka
Menot terus lari. Ketika para punggawa sampai di bawah pohon jambe itu, tercium
bahwa ada bau harum pada pohon jambe. Maka tempat itu dinamakan Jambearum.
KABUPATEN KENDAL DI KALIWUNGU
Kaliwungu, disebut juga Lepen
Wungu (sejarah Bagelen), Lepen Tangi (Babad Sultan Agung), Caliwongo (Francois
Valentiju), daerah yang dipilih oleh Bahurekso sebagai pusat pemerintahan
sebuah Kadipaten. Pada saat itu Kaliwungu adalah daerah yang telah dibangun
oleh Sunan Katong yang kemudian dikembangkan oleh ulama Mataram Panembahan
Djoeminah. Upaya pengembangan diteruskan oleh ulama yang punya garis keturunan
dengan Sunan Giri, yaitu Kyai haji Asy'ari atau Kyai Guru, yang datang ke
Kaliwungu pada beberapa tahun kemudian. Kaliwungu memang daerah berpotensi,
selain itu dari faktor geografis memenuhi syarat sebagai daerah pertahanan.
Bandar (pelabuhan) Jepara
mengalami perkembangan yang pesat bila dibanding dengan Bandar Bintara, Deamk.
Selain itu, Bandar Asam Arang, yang strategis menjadikan Kadipaten Kendal di
Kaliwungu semakin berkembang.
Faktor strategis lainnya
adalah; Pertama, merupakan jalan lurus menuju Mataram yang berdampingan dengan
kadipaten Semarang. Kedua, memiliki pantai landai yang memungkinkan
pengembangan pelabuhan armada.Ketiga, semenmanjung dengan Jepara sehingga mudah
mengamati perkembangannya. Keempat, dekat dengan pesisir sebelah barat: Batang,
Pekalongan, Tegal hingga Cirebon. Kelima, kondisi masyarakat pondok pesantren
yang tenang sangat memungkinkan adanya koordinasi dengan para ulama, dan tidak
tertutup kemungkinan Adipati merangkap jabatan lain.
Ancaman yang menjadi
pertimbangan Sultan Mataram adalah VOC yang terus mengembangkan sayapnya
memonopoli dagang. Banten dan Batavia telah berhasil dikuasai. Oleh karenanya
pembangunan armada laut yang kuat sangat dibutuhkan, dan dalam hal ini Sultan
Agung mempercayakan pada Adipati Kendal, Tumenggung Bahurekso. Pembangunan
armada laut pun dimulai, dengan beberapa tempat yang dijadikan pusat pelatihan
armada (prajurit).
Magangan, sebuah desa yang
masuk masuk Kecamatan Pegandon (sekarang Kecamatan Ampel), dijadikan
penampungan dan pendaftaran calon prajurit. Magangan berasal dari kata atau
Magangatau pencalonan. Sedangkan tempat latihannya dipusatkan di desa
Plantaran, sekarang masuk Kecamatan Kaliwungu. Plantaran berasal dari kata
tataran atau yang berarti dadaran, pendadaranpusat latihan calon prajurit. Para
pimpinan prajurit (armada) ditempaatkan di daerah dekat pelabuhan, namanya
Sabetan yang artinya jago atau jawara. Pelabuhan armadanya di daerah Ngeboom
yang artinya pelabuhan atau pangkalan laut. Keduanya sekarang menjadi desa
Mororejo, Kecamatan Kaliwungu. Sedangkan transportasi yang menghubungkan pusat
pemerintahan dengan markas besar armada angkatan laut melalui Kali Aji atau
Kali Bendo.
Awalnya, Bahurekso hanya
diberi kekuasaan darat seluas wilayah Kadipaten Kendal. Namun perkembangannya
diangkat sebagai Panglima Angkatan Laut dan Gubernur Pesisir Jawa Utara.
Memperhatikan tugas-tugas kedua dan ketiga itu, memberi gambaran bahwa Mataram
menempatkan posisi Adipati/Bupati Kendal sangat strategis yang berskala
nasional pada jamannya.
Setiap diplomat yang akan
menghadap raja, terlebih dahulu berkewajiban untuk melapor dan meminta ijin
pada Bahurekso. Pada bulan Juni 1615, ketika Andries Soury berkeinginan
menghadap raja, maka ia harus terlebih dahulu menemui Adipati Kendal yang jug
aGubernur Jawa Utara. Satu bukti lagi yang erat hubungannya dengan kepercayaan
Sultan Agungyang diebrikan kepada Tumenggung Bahurekso, ketika utusan dagang
kedua VOC, yaituvan Endhovenn(Juni 1618) ingin menghadap Sultan Mataram dengan
tujuan ingin memperkuat dan memperluas lojinya. Jawaban Sultan diberikan kepada
utusan VOC itu melalui Tumenggung Bahurekso.
Segala sesuatu yang
berhubungan dengan VOC, kebijaksanaan awal berada di tangan Bahurekso. Perilaku
kasar yang ditunjukkan ole Van Endhoven dan Cornelis Maseuck terhadap para
pedagang Jepara, pada akhirnya menjadi perhaatian Sultan. Mereka memaksa agar
para pedagang Jepara menjual dagangannya pada VOC, dan bila tidak dituruti,
para pedagang VOC melakukan penjarahan dan penganiayaan. Perilauk ini harus
dipertanggungjawabkan. Karena tidak ada tanggapan dari pihak VOC, maka 18
Agustus 1618, Kantor Dagang VOC yang ada di Jepara diserbu habis. Ada yang
meninggal dan ada yang ditawan oleh pasukan Bahurekso.
Inilah awal situasi dan
kondisi yang memanas. JP. Coen, Gubernur Jenderal Dagang VOC di Jakarta merasa
tersinggung. Dengan pura-pura berbuat baik pada pedagang Jepara dan pemerintah
Mataram, JP. Coen menemui penguas dagang Mataram di Jepara yang berpangkat
Hulubalang itu, JP. Coen ingin membeli beras dan keperluan lainnya dari
masyarakat. Setelah itu seratus enam puluh prajurit VOC menyerang rumah-rumah
rakyat, dan menewaskan tiga puluh orang. Jung-jung yang ada di pelabuhan Jepara
semua dibakar habis.
Peringatan dari VOC itu
mendorong Bahurekso memperkuat pertahanan Jepara. Prediksi akan adanya serangan
ulang dari pihak VOC, ternyata benar. Sebanyak 400 prajurit Belanda (1619)
menyerang Jepara. Namun dapat dipukul mundur oleh pasukan Bahurekso, dan mereka
harus kembali ke laut. Persaingan dagang di pantai utara antara Mataram dengan
Belanda sudah mulai memanas dan saling menjepit.
Kerajaan Sukadana, Kalimantan
Selatan berhasil lebih dahulu dikuasai oleh Mataram.. Belanda berusaha
melakukan ekspansi dagang lewat laut dengan daerah yang dituju Gresik dan
Madura. Malang bagi Kompeni, karena tahun 1624 Kamar Dagang VOC yang ada di
Gresik hancur oleh pasukan Mataram. Persaingan semakin panas, dan Sultan Agung
sendiri merasa bahwa cepat atau lambat Kompeni akan menguasai Pulau Jawa.
Kyai Ngabehi Bahurekso
( Menurut Sastra Lisan)
Ki Ageng Cempaluk yang juga
punya nama Ki Ageng Joyo Singo atau Ki Ageng Ngerang, adalah seorang prajurit
pilih tanding Kerajaan Pajang dan Mataram. Namun, ada keterangan lagi bahwa Ki
Ageng Cempaluk adalah ayah dari Joyosingo.
Nama Ki Ageng Ngerang yang
menjadi julukannya bisa dipahami bila Ki Ageng Cempaluk masih ada hubungannya
dengan Ki Ageng Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, putera Prabu Brawijaya dari
Majapahit, dari keturunan ibu.
Sebagaimana disebut dalam
cerita tutur ataupun sejarh rakyat, seorang tokoh biasanya dipanggil dengan
memakai panggilan nama leluhurnya bila yang bersangkutan memiliki sifat-sifat
yang sama, yang disebut "nama nunggak semi". Nama Ki Ageng Ngerang
tokoh tua seangkatan Ki Getas Pendowo, ayah Ki Ageng Selo yang menurunkan Ki
Ageng Ngenis atau Henis dan berputera Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Sultan
Mataram pertama, Senopati Sutowijoyo. Seperti disebut dalam buku Babad Tanah
Jawi, diterangkan sebagai berikut:
"Prabu Brawijaya
mempunyai istri (selir) bernma puteri wandan, berputera laki-laki bernama Raden
Bondan Kejawan alias Bondan Surati alias Lembu Peteng yang kawin dengan Puteri
Nawangsih puteri Ki Ageng Tarub, berputera dua orang, Ki Getas Pendowo yang
berputera Ki Ageng Selo. Anak Ki Bondan Kejawan yang satunya, seorang puteri
yang dikawinkan dengan Ki Ageng Ngerang. Jadi hubungan antara Ki Ageng Getas
Pendowo dengan Ki Ageng Ngerang adalah saudara ipar.
Selanjutnya dengan disebutnya
nama Ki Ageng Ngerang, mengingatkan pada tiga tokoh besar bersaudara seperguruan,
yaitu Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Tingkir dan ki Ageng Ngerang. Oleh cerita tutur,
tokoh Ki Ageng Ngerang ini tidak tertutup kemungkinan merupakan leluhur Ki
Ageng Cempaluk, ayah Joko bahu, yang kemudian hari bernama Tumengung Bahurekso.
Sedangkan dalam buku Babad Tanah Jawi diterangkan bahwa: Ki Ageng Selo
mempunyai anak enam putri dan satu orang putra, namanya Ki Ageng Ngenis,
berputera Ki Ageng Pemanahan, berputera Raden Pangeran Bagus, yang tidak lain
Sutowijoyo, Panembahan Senopati.
Bila Catatan Hermannus
Johannes de Graaf yang mereferensi dari buku Babad Tanah Jawi itu benar, maka
Jaka Bahu atau Tumenggung Bahurekso adalah masih ad hubungan keluargamenyamping
trah Mataram. Dengan kata lain Bahurekso memang bangsawan Mataram, hanya saja
ia berasal dari pihak ibu.
Sedangkan menurut Amien
Budiman, Jaka Bahu sebutan lainnya adalah Ki Bahu, adalah sahabat dekat atau
orang yang dipercaya oleh Pangeran Benowo. Jaka Bahu lah yang mendampingi
Pangeran Benowo mulai dari Pajang, kemudian pindah kek Jipang dan selanjutnya
mengembara hingga ke Kendal dan Parakan. Oleh Sunan atau Pangeran Benowo, Ki
Bahi diserahkan pada Panembahan Senopati di Mataram sebagai ganti atau wakil
dan atas nama Pangeran Benowo. Bila Panembahan Senopati ada keperluan
dengannya, maka Ki Bahu lah yang menjadi wakilnya, karena memang nenek moyang
Ki Bahu masih ada hubungannya dengan nenek moyang Mataram. Dengan demikian
kedekatan Ki Bahu dengan Pangeran Benowo itu lebih berdasar pada kesinambungan
hubungan erat nenek moyangnya, yaitu antara Ki Ageng Ngerang dengan Ki Ageng
Pengging.
Baik Ki Ageng Cempaluk
ataupun Jaka Bahu memiliki hubungan sangat dekat dengan Panembahan Senopati Ing
Alogo Sayidin Panotogomo Sultan Mataram Sutowijoyo maupun Mahapatih Mataram, Ki
Mondoroko, nama kebesaran Ki Juru Martani. Karena drama baktinya kepada
kerajaan yang besar dan usianya yang cukup tua, Ki Ageng cempaluk diberikan
tanah perdekan (otonomi) di wilayah Kesesi, sekarang masuk Kabupaten
Pekalongan. Hidup bersama dua anaknya, Joko Bahu dan seorang lagi sebagai anak
angkatnya Anjarwati, dirasakan sebagai anugrah dari Tuhan yang Mahakuasa. Di
padepokan itulah ia menghabiskan masa tuanya dengan penuh syukur pada Tuhan.
Namun sebagai orang yang telah diberi penghargaan, Ki Ageng cempaluk tetap
mencurahkan pikirannya dan sisa-sisa tenaganya untuk Mataram.
Sebagai seorang prajurit yang
hidup di dua masa, yaitu masa kerajaan Pajang dan Mataram, dan dikenal sebagai
prajurit yang mumpuni dalam bidang kanuragan dan ketataprajaan. Sehingga ia
memiliki pewaris yang bisa melanjutkan pengabdiannya pada kerajaan.
Dituturkan, bahwa penguasa
Kadipaten Kleyangangan (Sekarang Kecamatan Subah, Batang), Adipati -
Pengalasan/Pemajegan - Tumenggung Dipokusumo, berencana meluaskan wilayah
kadipatennya ke arah timur, dengan membuka alas roban, untuk areal pertanian
dan pemukiman. Adipati Dipokusumo, sadar bahwa membuka alas (hutan) bukan
pekerjaan yang mudah dan disadari termasuk pekerjaan yang keras. Sebuah tugas
yang sangat keras dan penuh resiko, maka ia meminta bantuan Ki Ageng Cempaluk
yang terkenal sakti. Karena usia yang mendekati udzur, maka tugas itu
diserahkan pada puteranyan, Jaka Bahu.
Dengan tetap didampingi oleh
Adipati Tumenggung Dipokusumo, tugas membuat persawahan dan pemukiman dengan
membuka alas (Babat Wono Roban) dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu. Atas
keberhasilannya itu, pada akhirnya jaka Bahu menjadi kepercayaa Adipati
Dipokusumo, yang tentu saja keberhasilan itu dilaporkan pada Sultan Agung
Hanyokrokusumo. (dalam buku Bahurekso Tapa, ada nama Jaka Sentanu - yang
kemungkinannya satu nama dengan Ki Dipokusumo). Berhasil membuka hutan Roban,
Sultan Agung menginginkan ada penambahan areal persawahan dan pemukiman, dengan
cara membuka hutan hutan (alas) Gambiran, sebuah hutan di sebelah barat
Kleyangan, yang lebih gawat daripada Roban. Dengan menelusuri sungai Sambong
yang lebar dan memanjang dari selatan ke utara, dan selanjutnya menjadi
prioritas dan sasaran pertama yang harus dikerjakan.
Dimulai dengan membuat
bendungan di sungai itu. Kawasan hutan yang telah dikuasai oleh pendekar keals
tinggi, Drubikso, merasa kehidupannya diganggu. Tokoh sakti itu melakukan
perlawanan pada Jaka Bahu. Oleh yang punya cerita disebutkan bahwa antara kedua
tokoh itu sama-sama memiliki daya tempur yang luar biasa. Drubikso yang punya
aji guntur geni berhasil dikalahkan. Drubikso dan Jaka Bahu saling memukul
dengan galah atau watang (embat-embatan watang, Jawa). Tempat pertarungan kedua
tokoh itu pada akhirnya disebut (berasal dari kata Batangembat-embatan watang).
Hutan gambiran merupakan
keberhasilan Jaka Bahu kali kedua, sekarang ini tepatnya di daerah Sambong,
Batang. Sedangkan pembahasan taktik dan strategi untuk mengalahkan Drubikso,
sekarang bernama Dracik yang berasal dari kata diracik. Dan keberhasilannya
membuka hutan Gambiran ini merupakan kado persembahan terhadap tahun pertama
pemerintahan Sultan Agung (1613). Pada akhirnya Sultan Agung mengutus putera
Mataram, Ki Mandurorejo, untuk menata kembali daerah Kleyangan sepeninggal Ki
Dipokusumo. Dari sinilah awal perkenalan Jaka Bahu dengan Ki Mandurorejo putera
Ki Manduronegoro, yang berarti cucu Ki Patih Mondoroko, yang berarti juga masih
saudara dekat dengan Sultan Agung, bahkan disebutnya sebagai mertua Sultan
Agung. Seperti disebut dalam sejarah Kabupaten Pekalongan/Batang, Tumenggung
Mandurorejo diangkat menjadi Adipati pad tahun 1922. Bila diruntut dengan
cerita-cerita di atas, maka sembilan tahun kemudian setelah hutan Gambiran
bahkan di atas angka sepuluh tahun setelah alas Roban dibuka menjadi
perkampungan oleh Bahurekso, Tumenggung Mandurorejo menduduki Pekalongan/batang
sebagai adipati. Atas jasa-jasanya itu, pada tahun yang tidak berselang lama
setelah Sultan Agung dinobatkan sebagai sultan, Jaka Bahu diberi penghargaan
atas jasa kerja kerasnya, menjadi Adipati (penguasa)Kendal, dengan pangkat
Tumenggung (1614). Tahun penobatan ini memang menjadi perdebatan bahkan belum
diyakini. Namun, catatan De Graaf, sejarawan Belanda yang khusus menulis javanologi
menyebut bahwa pada tahun 1915, Kendal sudah ada seorang gubernur bernama
Bahurekso.
Dengan diangkatnya Tumenggung
Bahurekso sebagai penguasa Kadipaten Kendal, maka secara hirarkhi, Kadipaten
Kendal di bawah langsung kerajaan Mataram. Sebuah karya yang dihias di daerah
sendiri (Kabupaten Batang sekarang ini) sedangkan sebagai penghargaannya
menjadi penguasa daerah lain. Sedangkan daerah yang dibangunnya (sebelum
menjadi adipati) pada akhirnya bernama Kadipaten Pekalongan (termasuk Batang),
oleh Sultan Mataram diberikan kepada Mandurorejo. Inin artinya bahwa Ki
Mandurorejo datang ke daerah itu, tatanan pemerintahan sudah tertata rapi, dan
bangunan-bangunan sebagai cikal bakal pemerintahan telah ada. Dengan
berdasarkan kepentingan pertahanan kerajaan Mataram, maka oleh Bahurekso dan
atas persetujuan Sultan Mataram, menjadikan wilayah Kaliwungu sebagai
alternatif yang terbaik sebagai pusat pemerintahan. Sebutan berikutnya
Kadipaten kendal di Kaliwungu. Begitu seterusnya hingga 1811, pemerintahan dipindahkan
ke kota Kendal seperti sekarang ini. dalam sejarah Batang sebagai ditulis oleh
R. Sunaryo Basuki, ataupun catatan-catatan Amien Budiman, bahurekso memang
pernah memerintah Kabupaten Pekalongan sebagai pejabat kerajaan. Selanjutnya
oleh R. Sunaryo Basuki juga dituturkan, ketika itu ia menunjuk Raden Tjilik
atau Raden Prawiro, seorang ulama masih keturunan ulama Sedayu, Lamongan Jawa
Timur, yaitu Sunan Nur atau Sunan Sendang sebagai Ki Ageng di Batang/Ki Ageng
Gede Batang. Hanya saja keberadaannya di Pekalongan/Batang sebagai pejabat
kerajaan, maka nama Bahureksotidak diabadikan bahkan tercatat sebagai Bupati
Pekalongan atau di Batang.
Bila diurut kapan peristiwa
itu terjadi, rasanya memang tidak sulit yaiut sebelum tahun 1614. Sebab,
Mandurorejo diaingkat sebagi Bupati batang pad hari Senin pon, 8 September 1614
(Jumat Kliwon(?). Hanya saja catatan di Pekalongan menyebutkan bahwa walaupun
Mandurorejo menjadi bupati/penguasa di Batang tahun 1614, tetapi di Pekalongan
tercatat tahun 1622/1623 Pengeran Mandurorejo dan adiknya (Tumenggung Upasanta)
menjadi adipati/penguasa Pekalongan. Kedua daerah itu merupakan hasil kerja
keras Bahurekso. Pekalongan berasal dari kata "kalong". Cerita
tuturnya, di tempat itulah Bahurekso melakukan "topo ngalong",
menggantung di pohon dan makannya hanya buah-buahan, seperti kalong, begitu
masyarakat menyebut. Usaha bertapa Bahurekso ini sehubungan dengan pekerjaan
membuat perkampungan dengan membuka hutan Gambiran. Tidak berlebihan jika
Bahurekso pada akhirnya berhasil membangun tiga daerah pemerintahan sekaligus.
Nama Bupati Kendal dan
Kaliwungu
Dalam catatan yang ada di
arsip Kabupaten Kendal, nama-nama bupati Kendal tidak tercatat adanya nama
Raden Ronggo Hadimenggolo sampai dengan Hadinegoro III. Dengan demikian, maka
sebelum pemerintahan dipindahkan ke Kota Kendal, maka Kaliwungu merupakan induk
atau pusat pemerintahan. Sehingga tujuh orang keturunan Panembahan Djoeminah
itu adalah Bupati Kaliwungu. Di bawah ini ada catatan tentang nama-nama bupati
Kendal mulai Tumenggung Bahurekso sampai Bupati H. Hendi Boedoro, SH.,M.Si,
yang merupakan bupati ke-37.
1. Tumenggung Bahurekso
Sejak kapan Tumenggung
Bahurekso diangkat sebagai Adipati Kendal, memang belum ditemukan data yang
resmi. Tetapi H.J De Graaf, sejarawan Belanda yang sudah berhasil menulis
beberapa soal Javalogi mengatakan bahwa tahuan 1615, ketika pertama kali utusan
dagang VOC berkeinginan menghadap Sultan Agung, Raja Mataram, diwajibkan
terlebih dahulu menghadap Tumenggung Bahurekso, Adipati Kendal. Akan tetapi ada
catatan yang menerangkan bahwa Tumenggung Bahurekso diangkat menjadi Bupati
Kendal pada hari Jumat Kliwon, tanggal 12 Robiul Awal tahun 1023 H, bertepatan
dengan dengan tanggal 8 September 1614, dengan gelar Raden Tumenggung
Bahurekso.
Akhir pemerintahannya sampai
dengan 26 Agustus 1628, gugur melawan tentara Belanda di Batavia, 21 Oktober
1628.
2. Raden Ngabehi Wiroseco
(1629 - 1641)
Penggati Raden Tumenggung
Bahurekso adalah Raden Ngabehi Wiroseco, sahabat dekat dengan Pangeran Benowo
(putra Sultan Hadwijoyo). Tokoh ini hanya menjabat sebentar karena meninggal
dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu RadenMgabehi Wiroseco
digantikan oleh tokoh yang mempunyai nama sama, yaitu Wiroseco, yang semula
penguasa jepara. Tapi Raden Wiroseco yang satu ini memng tidak lama berkuasa di
kendal, karena atas usul VOC ia ditarik lagi ke jepara. maka dari tahun (1629 -
1641), jabatan bupati kendal dijabat oleh dua orang, dengan nama yang sama,
yaitu Raden Ngabehi Wiroseco(catatan Amen budiman, Menyingkap Sejarah Kendal
seri V).
3. Raden Ngabehi Mertoyudo
(1641 - 1649)
Bangsawan asal Mataram. Dan
pada awal pemerintahanya, Kerajaan Mataram telah terjadi alih kekuasaan dari
Sultan Agung (1645) kepada puteranya, Sultan Amanfkurat I.
4. Raden Ngabehi
Wongsodiprojo (1649 - 1650)
Bangsawan asal Mataram.
Menjabat baru beberapa bulan sudah wafat.
5. Raden Ngabehi
Wongsowiroprojo (1650 - 1661)
Putera dari Raden Ngabehi
Wongsodiprojo (Bupati ke -4)
6. Raden Ngabehi Wongsowirosroyo
(1661 - 1663)
Putera dari Raden Ngabehi
Wongsodiprojo (Bupati ke -5)
7. Tumenggung Singowijoyo I
atau Singowonggo (1663 - 1668)
Putera dari Raden Ngabehi
Wosongwirosroyo (Bupati ke -6). Pada tahun 1677 di utus Sunan Amangkurat I
untuk memulihkan keadaan di jakarta sehubungan dengan aksi orang- orang cina
yang melawan belanda. dan tahun 1677 ini pula terjadi alih kepemimpinan mataram
dari Sunan Amangkurat I ke Adipati Amon atau sunan amangkurat II, dan
Tumenggung Singowijoyo I wafat 1688,tanpa sakit.
8. Tumenggung Mertowijoyo I
(1688 - 1700)
Putera Raden Tumenggung
Ngabehi Singowijoyo I (Bupati ke -7) wafat 1694, dan selanjutnya diwakili oleh
pamannya yang (juga) bernama Singowijoyo, hingga 1700. Nama Tumenggung
Mertowijoyo juga ditemukan dalam buku Babad Mentawis dan Serat Babad negari
semarang. Seperti dituturkan oleh Amen Budiman Bahwa Tumenggung Mertowijo tewas
dalm peristiwa geger pakunegaran di wilayah kedu, kelihatannya mendapat
dukungan dari babad Mentawis. Sebab buku itu menerangkang bahwa Tumenggung
Mertowijoyo ambil bagian secara aktif dalam peristiwa tersebut. Sedangkang
dalam serat babad negeri semarang diterangkan bahwa nama Tumenggung Mertowijoyo
erat hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran Atau Ki mode pandan. diterangkang
lagi bahwa garis nasab Mertowijoyo dimulai dari pangeran Kanoman, adik Sunan
Tembayat. bila catatan itu sesuai dengan yang dimaksud, maka Tumenggung Mertowijoyo
ada garis Lurus dengan Sultan Akbar AL- Fatah dari Kerajaan Demak.
9. Tumenggung Mertowijoyo II
(1700 - 1725)
Adik dari Raden Tumenggung
Singowijoyo I (Bupati KE-7), atau Paman dari Tumenggung Mertowijoyo I.
Tumenggung Mertowijoyo II ini juga di sebut Kyai Kendil Wesi, karena punya
pusaka berwujud kendil yang terbuat dari besi. wafat tahun 1725 dan dimakamkan
dipemakaman pakucen, kebondalem, kecamatan kota kendal, sedangkang pusakanya
dimakamkan dipesarean Doropayung, sukolilan, patebon , kendal. Dua tahun
setelah Tumenggung Mertowijoyo II di angkat, tahun 1703 Sunan Amangkurat II
meninggal dunia, dan di ganti puterannya, Sunan Mas, yang bergelar Sunan
Amangkurat III. Pada masa keemasan, Murah sandang dan murah pangan
10. Tumenggung Mertowijoyo
III (1725 - 1739)
Putera Tumenggung Mertowijoyo
I (Bupati ke - 8), dimakamkan di pesarean Doropayung - patebon - kendal,
bersebelahan dengan makam pusaka kendil wesi. Bisa jadi pusaka itu diserahkan
oleh Tumenggung Mertowijoyo II kepada puteranya, Tumenggung Mertowijoyo III,
sebagai adat kelangsungan pemerintah, sebagaimana dulu Kyai Plered diwariskan
kepada Sultan Agung.
11. Tumenggung Singowijoyo II
(1739 - 1754)
Putera kedua dari Tumenggung
Singowijoyo I (bupati ke-9), dimakamkan di Loji Wurung Semarang. Jabatan bupati
kosong, diwakili oleh Patih Mertomenggolo asal Jepara sampai tahun 1755.
12. Tumenggung Soemonegoro I
(1755 - 1780)
Putera dari Adipati
Soerohadimenggolo, Adipati Semarang, 1755 - 1780. Ketika itu di Mataram terjadi
Perjanjian Gianti. Mataram dibagi menjadi dua; Yogyakarta dikuasai oleh
Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sedangkan Surakarta
dikuasai oleh keturunan Paku Buwono II, yang kemudian digantikan oleh puteranya
Paku Buwono III.
13. Tumenggung Soemonegoro II
(1780 - 1785)
Putera Adipati Soemonegoro I
(bupati ke-12). Didampingi seorang patih bernama Ronggodipowongso, yang
menjabat patih hingga 1880.
14. Tumenggung
Soerohadinegoro II (1780 - 1785)
Putera kedua Adipati
Soemonegoro I (bupati ke-12)
15. Raden Tumenggung
Prawirodiningrat I
Semula bupati Demak (1896 -
1811). Setelah Adipati Prawirodiningrat wafat, selama dua tahun pemerintahan
Kabupaten Kendal dilaksanakan oleh Patih Wiromenggolo hingga 1813. Pada tahun
1811, pemerintah Inggris membangun jalan raya Dandels yang melalui Kaliwungu -
Kendal. Atas usul Patih Wiromenggolo, ibukota Kabupaten Kaliwungu akan
dipindahkan ke Kota Kendal dengan alasan:
Letak Kaliwungu kurang
strategis karena sering dilanda banjir, sedangkan sebelah selatan terdiri tanah
yang berbukit-bukit. Kota Kendal tanahnya datar dan cukup luas, letaknya juga
dekat pantai yang baik. Pada tahun 1812 pemerintah Inggris menyetujui
pemindahan ibukota tersebut. Untuk pertama kali rumah kabupaten/pendopo
dibangun menghadap ke Jalan Dandels, yang kemudian disebut Jalan Pungkuran dan
sekarang dinamakan Jalan Pemuda. Pada tahun 1813, pemerintah Inggris menobatkan
putera alamarhum Tumenggung Prawirodiningrat I sebagai Bupati Kaliwungu
terakhir dan Bupati Kendal yang pertama (hapusnya istilah/sebutan Kabupaten
Kaliwungu) dengan gelar Pangeran Ario Prawiradiningrat II.
16. Raden Tumenggung
Prawirodiningrat II (1813 - 1830)
Putera dari R.T.
Prawirodiningrat I (Bupati ke-15). Dan mulai tahun 1829, bergelar Pangeran
Haryo (PH), wafat tahun 1830, dimakamkan di Protowetan. Gelar Pangeran Haryo
diperoleh karena adipati Kaliwungu ini membantu Belanda ketika perang
Diponegoro. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Patih Kaliwungu hingga
tahun 1832. Dan Patih Kaliwungu ini juga disebut Tumenggung Kasepuhan, rumah
terakhir kepatihan Kaliwungu, wafat tahun 1434, dimakamkan di Protowetan,
Kaliwungu. Bersamaan dengan pemerintahan Prawirodiningat II, Pulau Jawa
dikuasai oleh Inggris, dan Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.
17. Raden Tumenggung
Purdadiningrat atau Prododingrat (1832 - 1850)
Menantu R.T Prawirodiningrat
II, 1832 - 1850. Mungkin karena dipandang sangat memebahayakan Belanda, maka
Bupati Kendal ini diasingkan ke Manado. Sehingga oleh masyarakat disebut
Adipati Kendhang.
18. KRT. Soerohadiningrat
atau soerohadi diningrat atau Sosrodiningrat (1850 - 1857)
Berasal dari Gresik, kemudian
tahun 1857 dipindah ke Purbolinggo.
19. Pangeran Ario Notoproto
atau Notohamiprojo (1857 - 1890)
Wafatnya dimakamkan di
Protowetan.
20. Raden Mas Adipati
Notonegoro (1891-1914)
Putera Pangeran Adipati
(bupati ke-19), diangkat tahun 1891, wafat tahun 1914, dimakamkan di
Protowetan.
21. Raden Mas Adipati Aryo
Notohamijoyo (1914 - 1938)
Putera dari RMA. Notonegoro
(bupati ke-20). Nama aslinya Raden Muhammad. Wafat Desember 1949. Karena ada
halangan, diwakili oleh patih Kendal, Raden Notomoedigdo.
Pada waktu pemerintahan
Adipati Aryo Nothamiprojo, Pemerintah Belanda mulai memberi wewenang kepada
bupati untuk bertindak sebagai College van commomiteerden seperti Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan kemudian ada lagi satu lembaga yang mengurusi
keuangan desa dan pasar-pasar. Lembaga ini berjalan mulai tahun 1939.
22. Raden Mas Purbonegoro
atau Poerboatmojo Adisoerjo (1939 - 1942)
23. Patih Kendal, Raden
Koesumohoedojo (1942 - 1945)
24. Soekarmo, anggota
Syusangiin,
25. Raden Poeslam,
26. Raden Prajitno
Partididjojo,
27. Raden soedjono,Bupati
Blora (1957 - 1960)
28. Raden Abdurrachman,
29. Raden Gondopranoto,
30. Raden Salatoen, (1960
-1965)
31. Mayor R. Sunardi, Dandim
Kendal, (1965 -1967)
32. Letkol RM Soeryosuseno,
(1967 -1972)
33. Drs. H. Abdussaleh
ranawijaya, (1972 - 1979)
34. Drs. H. Herman Soemarmo,
(1979 - 1984)
35. H Soedono Jusuf, BA (1984
- 1989)
36. H Soemojo Hadiwinoto, SH
(1989 - 1999)
37. Drs. H. Djoemadi (1999 -
2000)
38. H. Hendy Boedoro, SH, MSi
(2000 - 2008)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPercaya kepada Ahli Nujum bertentangan dengan Aqidah Islam. Cerita diatas hanya kisah dari Majapahit yang hindu....perhatikan
BalasHapuspanjang juga cerita ne, Babad Tanah Kendal
BalasHapustapi masih banyak ejaan dan penulisan yg kurang pass, mohon dikoreksi lagi agar lebih enak dibaca
penulisan tahun juga ada yg janggal
Raden Tumenggung Prawirodiningrat I
Semula bupati Demak (1896 - 1811). Setelah Adipati Prawirodiningrat wafat, selama dua tahun pemerintahan Kabupaten Kendal dilaksanakan oleh Patih Wiromenggolo hingga 1813. Pada tahun 1811