SELAMAT DATANG DI WWW.SEPUTARKOTAKENDAL.BLOGSPOT.COM # MEDIA ANDA MENGENAL KABUPATEN KENDAL LEBIH DEKAT........................

Kamis, 04 April 2013

Sejarah Kota Kendal. (Babad Tanah Kendal, karya Ahmad Hamam Rochani)


Setiap keberadaan suatu bangsa atau daerah tidak pernah lepas dari sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan begitu saja sejarah bangsa tersebut.
Sejarah Kendal sendiri dalam buku "Babad Tanah Kendal" karya Ahmad Hamam Rochani, menyebutkan banyak sekali yang melatar belakangi nama Kendal. Ada yang menyebut dengan Kendalapuraatau Kontali atau Kentali. Namun Babad Tanah Jawi menyebutnya bahwa Kendal berasal dari nama sebuah pohon, yaitu Pohon Kendal. Begitu pula tentang Kendal sebagai sebuah negeri, memang tenggelam oleh kerajaan atau negeri-negeri besar. Namun pada akhirnya negeri Kendal menjadi catatan sejarah nasional dan bahkan internasional karena catatan sejarahnya disimpan di sebuah perguruan tinggi terkenal di Nederland yaitu Universitas Leiden Belanda. Menurut Penulis, dipakai kata babad karena kupasannya dari cerita yang mengandung sejarah. Kalau diartikan secara umumBabad Tanah Kendal artinya cerita sejarah tentang tanah Kendal. Oleh karena itu, penekanan dalam hal ini adalah cerita, bukan sejarah yang harus dibuktikan dengan fakta. Sehingga mungkin akan dijumpai hal-hal yang kadang lain di telinga atau bertentangan dengan pemahaman yang sudah melekat erat di pikiran masyarakat


KENDAL PADA MASA AKHIR KERAJAAN MAJAPAHIT
Suatu hari, Sang Prabu Brawijaya bersemedi memohon pada yang Mahakuasa. Hasil semedinya cocok dengan pelaporan para ahli nujum kerajaan. Majapahit yang agung dan termasyhur akan segera beralih tempat. Namun pemegang kekuasaan tetap berada di tangan keturunan sang prabu. Rajanya akan ditaati seluruh rakyat Jawa Dwipa bahkna nusantara. Sang prabu lalu jatuh sakit. Mendapat wisik, penyakit akan sembuh bila Sang Prabu mau mengawini seorang puteri berambut keriting dan kulit kehitam-hitaman, Puteri Wandan Tetapi setelah Puteri Wandan mengandung, Sang Prabu terusik lagi oleh pelaporan para nujum kerajaan, bahwa sang bayi kelak akan membawa bencana. Ya, inilah awal kehancuran Majapahit. Tak pelak sang bayi diserahkan kepada seorang petani, dan jauh dari pusat kerajaan. Bayi itu adalah Bondan Kejawan, yang kemudian menurunkan Ki Getas Pendowo - Ki Ageng Selo - Ki Ageng Henis - Sunan Laweyan. Dari lelaki desa yang lugu tapi penuh sasmita itu, lahir sang Pemanahan, dan berdirilah Mataram.

Sunan Katong dan Pakuwojo: asal-usul nama Kendal
Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin),Han Bie Yan (Kyai Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).
Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.

Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.

Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi namaKali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya denganKendalsari.

Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kataKendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura. Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan. Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa. Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh). Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.

KENDAL MENJADI KABUPATEN
Sang nujum itu benar-benar titis pikir. Puteri Bondan Kejawan beriringan kasih sayang dengan KiAgeng Ngerang. Tuturnya dari sini lahir sang Bahu, sorang cicit yang berdampingan dengan Pangeran Benowo sang Mahkota Pajang. Ikatannya ditali dengan batin seperguruan sang leluhur. Setia tak gampang merekah. Tanah Kukulan mengantar sang Bahurekso berdekat diri dengan orang agung dari Mataram, dimulai dari anugerah nama, Kyai Ngabehi Bahurekso, dan selanjutnya Raden Tumenggung Bahurekso, sang Adipati Kendal. Alas Roban dan Alas Gambiran, Batang dan Pekalongan karya utama sang Bahu, yang berdampingan dengan pengejawantahan Nawangsari sebidadarian dengan Nawangwulan. Sang kekasih Bahurekso terpatri di hati dengan sebutan Dewi Lanjar. Magangan, Plantaran, Kali Aji, Sabetan dan Ngeboom merupakan saksi bisu dan monumen yang terlupakan dari sejarah sebuah kabupaten di Kaliwungu. Pusat budaya. Kota kecil itu menjadi kota besar, dan dari Klaiwungu berhasil menembus Batavia pada Kaladuta. Nama Kendal tidak lagi menasional tetapi telah melangit di tingkat internasional. Sang Bahurekso, adipati, gubernur pesisir Jawa dan dan panglima perang.

Siapa Kyai Kendil Wesi? : adakah hubungannya dengan Bagus Menot
Siapakah Kyai Kendil Wesi itu?
Menurut catatan Amien Budiman, Kyai Kendil Wesi itu nama aslinya adalah TUmenggung Singowijoyo. Bupati Kendal ini tewas di gunung Tidar Magelang ketika terjadi geger Pakunegaran. Kemudian ia digantikan oleh kemenakannya dengan gelar Tumenggung Mertowijoyo. Dan setelah meninggal digantikan oleh adiknya dengan nama kehormatan yang sama yaitu Tumenggung Mertowijoyo, yang meninggal di Loji Semarang. Tumenggung ini mempunyai putera yang bernama Mertowijoyo yang kemudian lebih dikenal dengan Mertowijoyo I.


Sedangkan catatan yang beredar di Kendal menerangkan bahwa yang dimaksud Kyai Kendil Wesi adalah bupati Kendal yang memiliki nama Mertowijoyo II, adik dari Tumenggung Singowijoyo yang memerintah pada tahun 1700 - 1725. Meninggal dan dimakamkan di pemakaman Pekuncen Kendal. Sedangkan pusakanya yang bernama Kendil Wesi diwariskan pada puteranya yang namanya juga nunggak semi dengannya yaitu Mertowijoyo III. Setelah meningal dunia, jenazah dan pusaka Kendil Wesinya dimakamkan di bawah pohon Doropayung Desa Sukolilan Patebon Kendal.


Nama Mertowijoyo jgua ditemukan dalam buku Serat Babad Negari Semarang dan Babad Mentawis. Dalam Serat Babad Nengari Semarang diterangkan bahwa nama Mertowijoyo itu masih ada hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran I (Ki Mode Pandan), penguasa Semarang atau Tirang Amper, yang berarti ada hubungan garis keturunan dengan Raden Fatah, Sultan Demak. Lengkap silsilahnya disebut sebagai berikut; Raden Fatah (Demak) berputera Pangeran Sabrang Lor, berputera Pangerawn Pandan Aran I (Ki Mode Pandan), berputera Pangeran Kanoman bupati Semarang (adik Sunan Tembayat), berputera Kyai Khalifah, berputera Kyai Laweyan, berputera Kyai Sumendhi (Kyai Alap-alap, bupati Semarang), berputera Kyai Rangga Hadi Negoro (Surahadimenggala ke-2, bupati Semarang), berputera Kyai Ronggo Mertoyuda (Surahadimenggala ke-3, bupati Semarang), berputera Kyai Mertowijyoyo.


Namun menurut cerita yang dicatat dala buku peninggalan-peningglan kunodi Kendal disebutkan bahwa Mertowijoyo berasal dari Lumajang. Karena ada selisih keluarga dengan adiknya, ia mengalah dan membawa pengikutnya berlayar dan akhirnya terdampar di Kendal.
bersama pengikutnya ia membuka suatu daerah sebagai tempat tinggal, dan karena ia mempunyai sebauh pusaka yang berwujud kendil terbuat dari bes, maka ia terkenal dengan nama Kyai Kendil Wesi. Ia meninggal ketika geger pakunegaran di gunung Tidar Magelang, dan jenazahnya dimakamkan di Pekuncen Kendal. Sedangkan jabatan bupati jatuh ke tangan Mertowijoyo III, putera Mertowijoyo I berikut pusakanya.

Kemudian siapa yang dimaksud dengan Bagus Menot?

Diceritakan bahwa ia putera Tumenggung Mertowijoyo. Namun tidak jelas Mertowijoyo yang mana. Namun kalau dilihat dari cerita yang beredar di Kendal bahwa ia adalah putera adipati tetapi akhir hayatnya mukso tanpa nama. Bisa jadi ia adalah putera Adipati Mertowijoyo I. Sebab, ketika Mertowijoyo I meninggal dunia, jabatan bupati diwakili oleh patihnyasendiri (lihat dan perhatikan dalam nama-nama Bupati Kendal di bagian akhir).
Seperti diceritakan oleh juru kunci makam Bagus Menot, Pak Puji (50), serta para orang tua yang suka dengan cerita tempo dulu, bahwa Bagus Menot adalah putera seorang adipati. Ketika ayahnya kembali dari berperang (geger Pakunegaran) ia dalam keadaan terluka parah karena terkena sabetan senjata. Sedangkan isterinya dalam keadaan hamil. Sebelum Mertowijoyo meninggal dunia, ia berpesan kepada semua kerabat bahwa kelak yang menggantikan dirinya menjadi bupati Kendal adalah putera yang masih dalam kandungan. Bila ia nanti lahir laki-laki, harap diberi nama Jaka Aminoto. Dan apaibila menduduki kursi bupati namanya Adipati Aminoto. Begitu pesan ayahandanya, Mertowijoyo. Ada tuturan lagi, selain bernama Aminoto jga punya nama lain yaitu Raden Sutejo.

Kelahiran bayi Aminoto bersamaan dengan kematian sang ibu. Maka bayi Aminoto dirawat oleh keluarga. Ketika mencapai usia dewasa, kira-kira 17 tahun, malapetaka menimp dirinya. Orang yagn menduduki jabatan bupati warisan dari ayahnya merasa resah karena pewaris yang asli sudah tumbuh dewasa. Maka tidak ada jalan yang terbaik kecuali harus menyingkirkan sang pewaris dengan cara apapun.


Usaha Pembunuhan pun beberapa kali dilakukan. Bahkan menurut cerita itu, Jaka Menot pernah dilarung ke laut, namun masih bisa selamat. Dan ketika ada usaha untuk meracuni melalui pelayan kerabat, Jaka Menot jga selamat. Maka tidak ada jalan lain kecual harus dibunuh, tetapi ada yang menyarankan cara itu memang kurang baik. Maka cara yang terbaik Jaka Menot diusir dari kadipaten. Setelah meninggalkan kadipaten, maka diatur supaya ada punggawa mengejarnya dengan maksud untuk membunuh Jaka Menot. Ada tuturan lagi, bahwa baik orang-orang kabupaten ataupun Belanda, merasa takut dengan kemampuan spiritual Bagus Aminoto. Diterangkan, kemampuan seorang remaja yang baru berusia belasan tahun sudah diketahui biasa bermain-main batu dan rumput. Konon batu-batu itu dibuat semacam tasbih dengan cara ditusuk dengan rumput dan ternyata bisa tembus.
Jaka Menot lari ke arah barat dan ternyata banyak juga orang merasa iba, karena para punggawa kakdipaten tersu mengejarnya untuk membunuh. Kenmudian ia ditolong oleh seorang tua. Namun pengejaran tersu dilakukan, dan orang tua yang diketahui menolong Jaka Menot, dibunuh. Kepalanya terpisah dari badannya, dan kakinya juga dipotong. Hanya tinggal badan (gembung). Di kemudian hari nama tempat membunuh orang tua itu terkenal dengan namaBugangin. Jaka Menot terus berlari mencari selamat. Karena merasa capek, ia beristirahat di sebuah pohon pinang (jambe). Ia terus dikejar oleh punggawa kadipaten. Setelah melihat para punggawa terus mengejar, Jaka Menot terus lari. Ketika para punggawa sampai di bawah pohon jambe itu, tercium bahwa ada bau harum pada pohon jambe. Maka tempat itu dinamakan Jambearum.

KABUPATEN KENDAL DI KALIWUNGU
Kaliwungu, disebut juga Lepen Wungu (sejarah Bagelen), Lepen Tangi (Babad Sultan Agung), Caliwongo (Francois Valentiju), daerah yang dipilih oleh Bahurekso sebagai pusat pemerintahan sebuah Kadipaten. Pada saat itu Kaliwungu adalah daerah yang telah dibangun oleh Sunan Katong yang kemudian dikembangkan oleh ulama Mataram Panembahan Djoeminah. Upaya pengembangan diteruskan oleh ulama yang punya garis keturunan dengan Sunan Giri, yaitu Kyai haji Asy'ari atau Kyai Guru, yang datang ke Kaliwungu pada beberapa tahun kemudian. Kaliwungu memang daerah berpotensi, selain itu dari faktor geografis memenuhi syarat sebagai daerah pertahanan.
Bandar (pelabuhan) Jepara mengalami perkembangan yang pesat bila dibanding dengan Bandar Bintara, Deamk. Selain itu, Bandar Asam Arang, yang strategis menjadikan Kadipaten Kendal di Kaliwungu semakin berkembang.

Faktor strategis lainnya adalah; Pertama, merupakan jalan lurus menuju Mataram yang berdampingan dengan kadipaten Semarang. Kedua, memiliki pantai landai yang memungkinkan pengembangan pelabuhan armada.Ketiga, semenmanjung dengan Jepara sehingga mudah mengamati perkembangannya. Keempat, dekat dengan pesisir sebelah barat: Batang, Pekalongan, Tegal hingga Cirebon. Kelima, kondisi masyarakat pondok pesantren yang tenang sangat memungkinkan adanya koordinasi dengan para ulama, dan tidak tertutup kemungkinan Adipati merangkap jabatan lain.

Ancaman yang menjadi pertimbangan Sultan Mataram adalah VOC yang terus mengembangkan sayapnya memonopoli dagang. Banten dan Batavia telah berhasil dikuasai. Oleh karenanya pembangunan armada laut yang kuat sangat dibutuhkan, dan dalam hal ini Sultan Agung mempercayakan pada Adipati Kendal, Tumenggung Bahurekso. Pembangunan armada laut pun dimulai, dengan beberapa tempat yang dijadikan pusat pelatihan armada (prajurit).

Magangan, sebuah desa yang masuk masuk Kecamatan Pegandon (sekarang Kecamatan Ampel), dijadikan penampungan dan pendaftaran calon prajurit. Magangan berasal dari kata atau Magangatau pencalonan. Sedangkan tempat latihannya dipusatkan di desa Plantaran, sekarang masuk Kecamatan Kaliwungu. Plantaran berasal dari kata tataran atau yang berarti dadaran, pendadaranpusat latihan calon prajurit. Para pimpinan prajurit (armada) ditempaatkan di daerah dekat pelabuhan, namanya Sabetan yang artinya jago atau jawara. Pelabuhan armadanya di daerah Ngeboom yang artinya pelabuhan atau pangkalan laut. Keduanya sekarang menjadi desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu. Sedangkan transportasi yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan markas besar armada angkatan laut melalui Kali Aji atau Kali Bendo.

Awalnya, Bahurekso hanya diberi kekuasaan darat seluas wilayah Kadipaten Kendal. Namun perkembangannya diangkat sebagai Panglima Angkatan Laut dan Gubernur Pesisir Jawa Utara. Memperhatikan tugas-tugas kedua dan ketiga itu, memberi gambaran bahwa Mataram menempatkan posisi Adipati/Bupati Kendal sangat strategis yang berskala nasional pada jamannya.

Setiap diplomat yang akan menghadap raja, terlebih dahulu berkewajiban untuk melapor dan meminta ijin pada Bahurekso. Pada bulan Juni 1615, ketika Andries Soury berkeinginan menghadap raja, maka ia harus terlebih dahulu menemui Adipati Kendal yang jug aGubernur Jawa Utara. Satu bukti lagi yang erat hubungannya dengan kepercayaan Sultan Agungyang diebrikan kepada Tumenggung Bahurekso, ketika utusan dagang kedua VOC, yaituvan Endhovenn(Juni 1618) ingin menghadap Sultan Mataram dengan tujuan ingin memperkuat dan memperluas lojinya. Jawaban Sultan diberikan kepada utusan VOC itu melalui Tumenggung Bahurekso.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan VOC, kebijaksanaan awal berada di tangan Bahurekso. Perilaku kasar yang ditunjukkan ole Van Endhoven dan Cornelis Maseuck terhadap para pedagang Jepara, pada akhirnya menjadi perhaatian Sultan. Mereka memaksa agar para pedagang Jepara menjual dagangannya pada VOC, dan bila tidak dituruti, para pedagang VOC melakukan penjarahan dan penganiayaan. Perilauk ini harus dipertanggungjawabkan. Karena tidak ada tanggapan dari pihak VOC, maka 18 Agustus 1618, Kantor Dagang VOC yang ada di Jepara diserbu habis. Ada yang meninggal dan ada yang ditawan oleh pasukan Bahurekso.

Inilah awal situasi dan kondisi yang memanas. JP. Coen, Gubernur Jenderal Dagang VOC di Jakarta merasa tersinggung. Dengan pura-pura berbuat baik pada pedagang Jepara dan pemerintah Mataram, JP. Coen menemui penguas dagang Mataram di Jepara yang berpangkat Hulubalang itu, JP. Coen ingin membeli beras dan keperluan lainnya dari masyarakat. Setelah itu seratus enam puluh prajurit VOC menyerang rumah-rumah rakyat, dan menewaskan tiga puluh orang. Jung-jung yang ada di pelabuhan Jepara semua dibakar habis.
Peringatan dari VOC itu mendorong Bahurekso memperkuat pertahanan Jepara. Prediksi akan adanya serangan ulang dari pihak VOC, ternyata benar. Sebanyak 400 prajurit Belanda (1619) menyerang Jepara. Namun dapat dipukul mundur oleh pasukan Bahurekso, dan mereka harus kembali ke laut. Persaingan dagang di pantai utara antara Mataram dengan Belanda sudah mulai memanas dan saling menjepit.

Kerajaan Sukadana, Kalimantan Selatan berhasil lebih dahulu dikuasai oleh Mataram.. Belanda berusaha melakukan ekspansi dagang lewat laut dengan daerah yang dituju Gresik dan Madura. Malang bagi Kompeni, karena tahun 1624 Kamar Dagang VOC yang ada di Gresik hancur oleh pasukan Mataram. Persaingan semakin panas, dan Sultan Agung sendiri merasa bahwa cepat atau lambat Kompeni akan menguasai Pulau Jawa.



Kyai Ngabehi Bahurekso

( Menurut Sastra Lisan)
Ki Ageng Cempaluk yang juga punya nama Ki Ageng Joyo Singo atau Ki Ageng Ngerang, adalah seorang prajurit pilih tanding Kerajaan Pajang dan Mataram. Namun, ada keterangan lagi bahwa Ki Ageng Cempaluk adalah ayah dari Joyosingo.
Nama Ki Ageng Ngerang yang menjadi julukannya bisa dipahami bila Ki Ageng Cempaluk masih ada hubungannya dengan Ki Ageng Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, putera Prabu Brawijaya dari Majapahit, dari keturunan ibu.
Sebagaimana disebut dalam cerita tutur ataupun sejarh rakyat, seorang tokoh biasanya dipanggil dengan memakai panggilan nama leluhurnya bila yang bersangkutan memiliki sifat-sifat yang sama, yang disebut "nama nunggak semi". Nama Ki Ageng Ngerang tokoh tua seangkatan Ki Getas Pendowo, ayah Ki Ageng Selo yang menurunkan Ki Ageng Ngenis atau Henis dan berputera Ki Ageng Pemanahan, ayahanda Sultan Mataram pertama, Senopati Sutowijoyo. Seperti disebut dalam buku Babad Tanah Jawi, diterangkan sebagai berikut:
"Prabu Brawijaya mempunyai istri (selir) bernma puteri wandan, berputera laki-laki bernama Raden Bondan Kejawan alias Bondan Surati alias Lembu Peteng yang kawin dengan Puteri Nawangsih puteri Ki Ageng Tarub, berputera dua orang, Ki Getas Pendowo yang berputera Ki Ageng Selo. Anak Ki Bondan Kejawan yang satunya, seorang puteri yang dikawinkan dengan Ki Ageng Ngerang. Jadi hubungan antara Ki Ageng Getas Pendowo dengan Ki Ageng Ngerang adalah saudara ipar.

Selanjutnya dengan disebutnya nama Ki Ageng Ngerang, mengingatkan pada tiga tokoh besar bersaudara seperguruan, yaitu Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Tingkir dan ki Ageng Ngerang. Oleh cerita tutur, tokoh Ki Ageng Ngerang ini tidak tertutup kemungkinan merupakan leluhur Ki Ageng Cempaluk, ayah Joko bahu, yang kemudian hari bernama Tumengung Bahurekso. Sedangkan dalam buku Babad Tanah Jawi diterangkan bahwa: Ki Ageng Selo mempunyai anak enam putri dan satu orang putra, namanya Ki Ageng Ngenis, berputera Ki Ageng Pemanahan, berputera Raden Pangeran Bagus, yang tidak lain Sutowijoyo, Panembahan Senopati.
Bila Catatan Hermannus Johannes de Graaf yang mereferensi dari buku Babad Tanah Jawi itu benar, maka Jaka Bahu atau Tumenggung Bahurekso adalah masih ad hubungan keluargamenyamping trah Mataram. Dengan kata lain Bahurekso memang bangsawan Mataram, hanya saja ia berasal dari pihak ibu.

Sedangkan menurut Amien Budiman, Jaka Bahu sebutan lainnya adalah Ki Bahu, adalah sahabat dekat atau orang yang dipercaya oleh Pangeran Benowo. Jaka Bahu lah yang mendampingi Pangeran Benowo mulai dari Pajang, kemudian pindah kek Jipang dan selanjutnya mengembara hingga ke Kendal dan Parakan. Oleh Sunan atau Pangeran Benowo, Ki Bahi diserahkan pada Panembahan Senopati di Mataram sebagai ganti atau wakil dan atas nama Pangeran Benowo. Bila Panembahan Senopati ada keperluan dengannya, maka Ki Bahu lah yang menjadi wakilnya, karena memang nenek moyang Ki Bahu masih ada hubungannya dengan nenek moyang Mataram. Dengan demikian kedekatan Ki Bahu dengan Pangeran Benowo itu lebih berdasar pada kesinambungan hubungan erat nenek moyangnya, yaitu antara Ki Ageng Ngerang dengan Ki Ageng Pengging.
Baik Ki Ageng Cempaluk ataupun Jaka Bahu memiliki hubungan sangat dekat dengan Panembahan Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo Sultan Mataram Sutowijoyo maupun Mahapatih Mataram, Ki Mondoroko, nama kebesaran Ki Juru Martani. Karena drama baktinya kepada kerajaan yang besar dan usianya yang cukup tua, Ki Ageng cempaluk diberikan tanah perdekan (otonomi) di wilayah Kesesi, sekarang masuk Kabupaten Pekalongan. Hidup bersama dua anaknya, Joko Bahu dan seorang lagi sebagai anak angkatnya Anjarwati, dirasakan sebagai anugrah dari Tuhan yang Mahakuasa. Di padepokan itulah ia menghabiskan masa tuanya dengan penuh syukur pada Tuhan. Namun sebagai orang yang telah diberi penghargaan, Ki Ageng cempaluk tetap mencurahkan pikirannya dan sisa-sisa tenaganya untuk Mataram.

Sebagai seorang prajurit yang hidup di dua masa, yaitu masa kerajaan Pajang dan Mataram, dan dikenal sebagai prajurit yang mumpuni dalam bidang kanuragan dan ketataprajaan. Sehingga ia memiliki pewaris yang bisa melanjutkan pengabdiannya pada kerajaan.
Dituturkan, bahwa penguasa Kadipaten Kleyangangan (Sekarang Kecamatan Subah, Batang), Adipati - Pengalasan/Pemajegan - Tumenggung Dipokusumo, berencana meluaskan wilayah kadipatennya ke arah timur, dengan membuka alas roban, untuk areal pertanian dan pemukiman. Adipati Dipokusumo, sadar bahwa membuka alas (hutan) bukan pekerjaan yang mudah dan disadari termasuk pekerjaan yang keras. Sebuah tugas yang sangat keras dan penuh resiko, maka ia meminta bantuan Ki Ageng Cempaluk yang terkenal sakti. Karena usia yang mendekati udzur, maka tugas itu diserahkan pada puteranyan, Jaka Bahu.

Dengan tetap didampingi oleh Adipati Tumenggung Dipokusumo, tugas membuat persawahan dan pemukiman dengan membuka alas (Babat Wono Roban) dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu. Atas keberhasilannya itu, pada akhirnya jaka Bahu menjadi kepercayaa Adipati Dipokusumo, yang tentu saja keberhasilan itu dilaporkan pada Sultan Agung Hanyokrokusumo. (dalam buku Bahurekso Tapa, ada nama Jaka Sentanu - yang kemungkinannya satu nama dengan Ki Dipokusumo). Berhasil membuka hutan Roban, Sultan Agung menginginkan ada penambahan areal persawahan dan pemukiman, dengan cara membuka hutan hutan (alas) Gambiran, sebuah hutan di sebelah barat Kleyangan, yang lebih gawat daripada Roban. Dengan menelusuri sungai Sambong yang lebar dan memanjang dari selatan ke utara, dan selanjutnya menjadi prioritas dan sasaran pertama yang harus dikerjakan.

Dimulai dengan membuat bendungan di sungai itu. Kawasan hutan yang telah dikuasai oleh pendekar keals tinggi, Drubikso, merasa kehidupannya diganggu. Tokoh sakti itu melakukan perlawanan pada Jaka Bahu. Oleh yang punya cerita disebutkan bahwa antara kedua tokoh itu sama-sama memiliki daya tempur yang luar biasa. Drubikso yang punya aji guntur geni berhasil dikalahkan. Drubikso dan Jaka Bahu saling memukul dengan galah atau watang (embat-embatan watang, Jawa). Tempat pertarungan kedua tokoh itu pada akhirnya disebut (berasal dari kata Batangembat-embatan watang).

Hutan gambiran merupakan keberhasilan Jaka Bahu kali kedua, sekarang ini tepatnya di daerah Sambong, Batang. Sedangkan pembahasan taktik dan strategi untuk mengalahkan Drubikso, sekarang bernama Dracik yang berasal dari kata diracik. Dan keberhasilannya membuka hutan Gambiran ini merupakan kado persembahan terhadap tahun pertama pemerintahan Sultan Agung (1613). Pada akhirnya Sultan Agung mengutus putera Mataram, Ki Mandurorejo, untuk menata kembali daerah Kleyangan sepeninggal Ki Dipokusumo. Dari sinilah awal perkenalan Jaka Bahu dengan Ki Mandurorejo putera Ki Manduronegoro, yang berarti cucu Ki Patih Mondoroko, yang berarti juga masih saudara dekat dengan Sultan Agung, bahkan disebutnya sebagai mertua Sultan Agung. Seperti disebut dalam sejarah Kabupaten Pekalongan/Batang, Tumenggung Mandurorejo diangkat menjadi Adipati pad tahun 1922. Bila diruntut dengan cerita-cerita di atas, maka sembilan tahun kemudian setelah hutan Gambiran bahkan di atas angka sepuluh tahun setelah alas Roban dibuka menjadi perkampungan oleh Bahurekso, Tumenggung Mandurorejo menduduki Pekalongan/batang sebagai adipati. Atas jasa-jasanya itu, pada tahun yang tidak berselang lama setelah Sultan Agung dinobatkan sebagai sultan, Jaka Bahu diberi penghargaan atas jasa kerja kerasnya, menjadi Adipati (penguasa)Kendal, dengan pangkat Tumenggung (1614). Tahun penobatan ini memang menjadi perdebatan bahkan belum diyakini. Namun, catatan De Graaf, sejarawan Belanda yang khusus menulis javanologi menyebut bahwa pada tahun 1915, Kendal sudah ada seorang gubernur bernama Bahurekso.

Dengan diangkatnya Tumenggung Bahurekso sebagai penguasa Kadipaten Kendal, maka secara hirarkhi, Kadipaten Kendal di bawah langsung kerajaan Mataram. Sebuah karya yang dihias di daerah sendiri (Kabupaten Batang sekarang ini) sedangkan sebagai penghargaannya menjadi penguasa daerah lain. Sedangkan daerah yang dibangunnya (sebelum menjadi adipati) pada akhirnya bernama Kadipaten Pekalongan (termasuk Batang), oleh Sultan Mataram diberikan kepada Mandurorejo. Inin artinya bahwa Ki Mandurorejo datang ke daerah itu, tatanan pemerintahan sudah tertata rapi, dan bangunan-bangunan sebagai cikal bakal pemerintahan telah ada. Dengan berdasarkan kepentingan pertahanan kerajaan Mataram, maka oleh Bahurekso dan atas persetujuan Sultan Mataram, menjadikan wilayah Kaliwungu sebagai alternatif yang terbaik sebagai pusat pemerintahan. Sebutan berikutnya Kadipaten kendal di Kaliwungu. Begitu seterusnya hingga 1811, pemerintahan dipindahkan ke kota Kendal seperti sekarang ini. dalam sejarah Batang sebagai ditulis oleh R. Sunaryo Basuki, ataupun catatan-catatan Amien Budiman, bahurekso memang pernah memerintah Kabupaten Pekalongan sebagai pejabat kerajaan. Selanjutnya oleh R. Sunaryo Basuki juga dituturkan, ketika itu ia menunjuk Raden Tjilik atau Raden Prawiro, seorang ulama masih keturunan ulama Sedayu, Lamongan Jawa Timur, yaitu Sunan Nur atau Sunan Sendang sebagai Ki Ageng di Batang/Ki Ageng Gede Batang. Hanya saja keberadaannya di Pekalongan/Batang sebagai pejabat kerajaan, maka nama Bahureksotidak diabadikan bahkan tercatat sebagai Bupati Pekalongan atau di Batang.

Bila diurut kapan peristiwa itu terjadi, rasanya memang tidak sulit yaiut sebelum tahun 1614. Sebab, Mandurorejo diaingkat sebagi Bupati batang pad hari Senin pon, 8 September 1614 (Jumat Kliwon(?). Hanya saja catatan di Pekalongan menyebutkan bahwa walaupun Mandurorejo menjadi bupati/penguasa di Batang tahun 1614, tetapi di Pekalongan tercatat tahun 1622/1623 Pengeran Mandurorejo dan adiknya (Tumenggung Upasanta) menjadi adipati/penguasa Pekalongan. Kedua daerah itu merupakan hasil kerja keras Bahurekso. Pekalongan berasal dari kata "kalong". Cerita tuturnya, di tempat itulah Bahurekso melakukan "topo ngalong", menggantung di pohon dan makannya hanya buah-buahan, seperti kalong, begitu masyarakat menyebut. Usaha bertapa Bahurekso ini sehubungan dengan pekerjaan membuat perkampungan dengan membuka hutan Gambiran. Tidak berlebihan jika Bahurekso pada akhirnya berhasil membangun tiga daerah pemerintahan sekaligus.

Nama Bupati Kendal dan Kaliwungu
                                                   
Dalam catatan yang ada di arsip Kabupaten Kendal, nama-nama bupati Kendal tidak tercatat adanya nama Raden Ronggo Hadimenggolo sampai dengan Hadinegoro III. Dengan demikian, maka sebelum pemerintahan dipindahkan ke Kota Kendal, maka Kaliwungu merupakan induk atau pusat pemerintahan. Sehingga tujuh orang keturunan Panembahan Djoeminah itu adalah Bupati Kaliwungu. Di bawah ini ada catatan tentang nama-nama bupati Kendal mulai Tumenggung Bahurekso sampai Bupati H. Hendi Boedoro, SH.,M.Si, yang merupakan bupati ke-37.

1. Tumenggung Bahurekso
Sejak kapan Tumenggung Bahurekso diangkat sebagai Adipati Kendal, memang belum ditemukan data yang resmi. Tetapi H.J De Graaf, sejarawan Belanda yang sudah berhasil menulis beberapa soal Javalogi mengatakan bahwa tahuan 1615, ketika pertama kali utusan dagang VOC berkeinginan menghadap Sultan Agung, Raja Mataram, diwajibkan terlebih dahulu menghadap Tumenggung Bahurekso, Adipati Kendal. Akan tetapi ada catatan yang menerangkan bahwa Tumenggung Bahurekso diangkat menjadi Bupati Kendal pada hari Jumat Kliwon, tanggal 12 Robiul Awal tahun 1023 H, bertepatan dengan dengan tanggal 8 September 1614, dengan gelar Raden Tumenggung Bahurekso.
Akhir pemerintahannya sampai dengan 26 Agustus 1628, gugur melawan tentara Belanda di Batavia, 21 Oktober 1628.


2. Raden Ngabehi Wiroseco (1629 - 1641)
Penggati Raden Tumenggung Bahurekso adalah Raden Ngabehi Wiroseco, sahabat dekat dengan Pangeran Benowo (putra Sultan Hadwijoyo). Tokoh ini hanya menjabat sebentar karena meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu RadenMgabehi Wiroseco digantikan oleh tokoh yang mempunyai nama sama, yaitu Wiroseco, yang semula penguasa jepara. Tapi Raden Wiroseco yang satu ini memng tidak lama berkuasa di kendal, karena atas usul VOC ia ditarik lagi ke jepara. maka dari tahun (1629 - 1641), jabatan bupati kendal dijabat oleh dua orang, dengan nama yang sama, yaitu Raden Ngabehi Wiroseco(catatan Amen budiman, Menyingkap Sejarah Kendal seri V).

3. Raden Ngabehi Mertoyudo (1641 - 1649)
Bangsawan asal Mataram. Dan pada awal pemerintahanya, Kerajaan Mataram telah terjadi alih kekuasaan dari Sultan Agung (1645) kepada puteranya, Sultan Amanfkurat I.
4. Raden Ngabehi Wongsodiprojo (1649 - 1650)
Bangsawan asal Mataram. Menjabat baru beberapa bulan sudah wafat.
5. Raden Ngabehi Wongsowiroprojo (1650 - 1661)
Putera dari Raden Ngabehi Wongsodiprojo (Bupati ke -4)
6. Raden Ngabehi Wongsowirosroyo (1661 - 1663)
Putera dari Raden Ngabehi Wongsodiprojo (Bupati ke -5)

7. Tumenggung Singowijoyo I atau Singowonggo (1663 - 1668)
Putera dari Raden Ngabehi Wosongwirosroyo (Bupati ke -6). Pada tahun 1677 di utus Sunan Amangkurat I untuk memulihkan keadaan di jakarta sehubungan dengan aksi orang- orang cina yang melawan belanda. dan tahun 1677 ini pula terjadi alih kepemimpinan mataram dari Sunan Amangkurat I ke Adipati Amon atau sunan amangkurat II, dan Tumenggung Singowijoyo I wafat 1688,tanpa sakit.

8. Tumenggung Mertowijoyo I (1688 - 1700)
Putera Raden Tumenggung Ngabehi Singowijoyo I (Bupati ke -7) wafat 1694, dan selanjutnya diwakili oleh pamannya yang (juga) bernama Singowijoyo, hingga 1700. Nama Tumenggung Mertowijoyo juga ditemukan dalam buku Babad Mentawis dan Serat Babad negari semarang. Seperti dituturkan oleh Amen Budiman Bahwa Tumenggung Mertowijo tewas dalm peristiwa geger pakunegaran di wilayah kedu, kelihatannya mendapat dukungan dari babad Mentawis. Sebab buku itu menerangkang bahwa Tumenggung Mertowijoyo ambil bagian secara aktif dalam peristiwa tersebut. Sedangkang dalam serat babad negeri semarang diterangkan bahwa nama Tumenggung Mertowijoyo erat hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran Atau Ki mode pandan. diterangkang lagi bahwa garis nasab Mertowijoyo dimulai dari pangeran Kanoman, adik Sunan Tembayat. bila catatan itu sesuai dengan yang dimaksud, maka Tumenggung Mertowijoyo ada garis Lurus dengan Sultan Akbar AL- Fatah dari Kerajaan Demak.

9. Tumenggung Mertowijoyo II (1700 - 1725)
Adik dari Raden Tumenggung Singowijoyo I (Bupati KE-7), atau Paman dari Tumenggung Mertowijoyo I. Tumenggung Mertowijoyo II ini juga di sebut Kyai Kendil Wesi, karena punya pusaka berwujud kendil yang terbuat dari besi. wafat tahun 1725 dan dimakamkan dipemakaman pakucen, kebondalem, kecamatan kota kendal, sedangkang pusakanya dimakamkan dipesarean Doropayung, sukolilan, patebon , kendal. Dua tahun setelah Tumenggung Mertowijoyo II di angkat, tahun 1703 Sunan Amangkurat II meninggal dunia, dan di ganti puterannya, Sunan Mas, yang bergelar Sunan Amangkurat III. Pada masa keemasan, Murah sandang dan murah pangan

10. Tumenggung Mertowijoyo III (1725 - 1739)
Putera Tumenggung Mertowijoyo I (Bupati ke - 8), dimakamkan di pesarean Doropayung - patebon - kendal, bersebelahan dengan makam pusaka kendil wesi. Bisa jadi pusaka itu diserahkan oleh Tumenggung Mertowijoyo II kepada puteranya, Tumenggung Mertowijoyo III, sebagai adat kelangsungan pemerintah, sebagaimana dulu Kyai Plered diwariskan kepada Sultan Agung.

11. Tumenggung Singowijoyo II (1739 - 1754)
Putera kedua dari Tumenggung Singowijoyo I (bupati ke-9), dimakamkan di Loji Wurung Semarang. Jabatan bupati kosong, diwakili oleh Patih Mertomenggolo asal Jepara sampai tahun 1755.
12. Tumenggung Soemonegoro I (1755 - 1780)
Putera dari Adipati Soerohadimenggolo, Adipati Semarang, 1755 - 1780. Ketika itu di Mataram terjadi Perjanjian Gianti. Mataram dibagi menjadi dua; Yogyakarta dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sedangkan Surakarta dikuasai oleh keturunan Paku Buwono II, yang kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III.
13. Tumenggung Soemonegoro II (1780 - 1785)
Putera Adipati Soemonegoro I (bupati ke-12). Didampingi seorang patih bernama Ronggodipowongso, yang menjabat patih hingga 1880.
14. Tumenggung Soerohadinegoro II (1780 - 1785)
Putera kedua Adipati Soemonegoro I (bupati ke-12)

15. Raden Tumenggung Prawirodiningrat I
Semula bupati Demak (1896 - 1811). Setelah Adipati Prawirodiningrat wafat, selama dua tahun pemerintahan Kabupaten Kendal dilaksanakan oleh Patih Wiromenggolo hingga 1813. Pada tahun 1811, pemerintah Inggris membangun jalan raya Dandels yang melalui Kaliwungu - Kendal. Atas usul Patih Wiromenggolo, ibukota Kabupaten Kaliwungu akan dipindahkan ke Kota Kendal dengan alasan:
Letak Kaliwungu kurang strategis karena sering dilanda banjir, sedangkan sebelah selatan terdiri tanah yang berbukit-bukit. Kota Kendal tanahnya datar dan cukup luas, letaknya juga dekat pantai yang baik. Pada tahun 1812 pemerintah Inggris menyetujui pemindahan ibukota tersebut. Untuk pertama kali rumah kabupaten/pendopo dibangun menghadap ke Jalan Dandels, yang kemudian disebut Jalan Pungkuran dan sekarang dinamakan Jalan Pemuda. Pada tahun 1813, pemerintah Inggris menobatkan putera alamarhum Tumenggung Prawirodiningrat I sebagai Bupati Kaliwungu terakhir dan Bupati Kendal yang pertama (hapusnya istilah/sebutan Kabupaten Kaliwungu) dengan gelar Pangeran Ario Prawiradiningrat II.

16. Raden Tumenggung Prawirodiningrat II (1813 - 1830)
Putera dari R.T. Prawirodiningrat I (Bupati ke-15). Dan mulai tahun 1829, bergelar Pangeran Haryo (PH), wafat tahun 1830, dimakamkan di Protowetan. Gelar Pangeran Haryo diperoleh karena adipati Kaliwungu ini membantu Belanda ketika perang Diponegoro. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Patih Kaliwungu hingga tahun 1832. Dan Patih Kaliwungu ini juga disebut Tumenggung Kasepuhan, rumah terakhir kepatihan Kaliwungu, wafat tahun 1434, dimakamkan di Protowetan, Kaliwungu. Bersamaan dengan pemerintahan Prawirodiningat II, Pulau Jawa dikuasai oleh Inggris, dan Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.

17. Raden Tumenggung Purdadiningrat atau Prododingrat (1832 - 1850)
Menantu R.T Prawirodiningrat II, 1832 - 1850. Mungkin karena dipandang sangat memebahayakan Belanda, maka Bupati Kendal ini diasingkan ke Manado. Sehingga oleh masyarakat disebut Adipati Kendhang.
18. KRT. Soerohadiningrat atau soerohadi diningrat atau Sosrodiningrat (1850 - 1857)
Berasal dari Gresik, kemudian tahun 1857 dipindah ke Purbolinggo.
19. Pangeran Ario Notoproto atau Notohamiprojo (1857 - 1890)
Wafatnya dimakamkan di Protowetan.
20. Raden Mas Adipati Notonegoro (1891-1914)
Putera Pangeran Adipati (bupati ke-19), diangkat tahun 1891, wafat tahun 1914, dimakamkan di Protowetan.

21. Raden Mas Adipati Aryo Notohamijoyo (1914 - 1938)
Putera dari RMA. Notonegoro (bupati ke-20). Nama aslinya Raden Muhammad. Wafat Desember 1949. Karena ada halangan, diwakili oleh patih Kendal, Raden Notomoedigdo.
Pada waktu pemerintahan Adipati Aryo Nothamiprojo, Pemerintah Belanda mulai memberi wewenang kepada bupati untuk bertindak sebagai College van commomiteerden seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan kemudian ada lagi satu lembaga yang mengurusi keuangan desa dan pasar-pasar. Lembaga ini berjalan mulai tahun 1939.

22. Raden Mas Purbonegoro atau Poerboatmojo Adisoerjo (1939 - 1942)
23. Patih Kendal, Raden Koesumohoedojo (1942 - 1945)
24. Soekarmo, anggota Syusangiin,
25. Raden Poeslam,
26. Raden Prajitno Partididjojo,
27. Raden soedjono,Bupati Blora (1957 - 1960)
28. Raden Abdurrachman,
29. Raden Gondopranoto,
30. Raden Salatoen, (1960 -1965)
31. Mayor R. Sunardi, Dandim Kendal, (1965 -1967)
32. Letkol RM Soeryosuseno, (1967 -1972)
33. Drs. H. Abdussaleh ranawijaya, (1972 - 1979)
34. Drs. H. Herman Soemarmo, (1979 - 1984)
35. H Soedono Jusuf, BA (1984 - 1989)
36. H Soemojo Hadiwinoto, SH (1989 - 1999)
37. Drs. H. Djoemadi (1999 - 2000)
38. H. Hendy Boedoro, SH, MSi (2000 - 2008)

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Percaya kepada Ahli Nujum bertentangan dengan Aqidah Islam. Cerita diatas hanya kisah dari Majapahit yang hindu....perhatikan

    BalasHapus
  3. panjang juga cerita ne, Babad Tanah Kendal
    tapi masih banyak ejaan dan penulisan yg kurang pass, mohon dikoreksi lagi agar lebih enak dibaca
    penulisan tahun juga ada yg janggal
    Raden Tumenggung Prawirodiningrat I
    Semula bupati Demak (1896 - 1811). Setelah Adipati Prawirodiningrat wafat, selama dua tahun pemerintahan Kabupaten Kendal dilaksanakan oleh Patih Wiromenggolo hingga 1813. Pada tahun 1811

    BalasHapus